Pages

Pages - Menu

Jumat, 02 Oktober 2015

Catatan Selepas Menjadi Sarjana


Selepas kuliah, target untuk bekerja menjadi hal nomor satu untuk direalisasikan dalam agenda saya. Menjadi sarjana pendidikan alias S. Pd. setelah menempuh perjalanan studi yang rasanya manis-asam-asin ibarat like a dream comes true. Alhamdulillah wa syukurillah.
1 Oktober 2013, the dream comes true. Wisuda bersama ratusan teman-teman seperjuangan. Rasanya plooooooong begitu menerima ijazah dan melihat nama sendiri di belakangnya sudah tersemat sebuah gelar : SRI MULYANI, S. Pd. begitu katanya. Rasanya semua beban yang menumpuk semasa perkuliahan bbubaaaaaaarrrrr jalan!!! Satu kata yang tercetak dalam hati dan pikiran saat itu : BAHAGIA!




 
Padahal nyatanya sodara-sodaraaaahh… perjuangan yang sebenarnya baru dimulai. Mau dibawa kemana nih gelar S. Pd.-nya yang dibangga-banggakan itu? Nah lho!!!Mencari pekerjaan di zaman sekarang memang tidak mudah lho. Apalagi saya yang notabene tinggal di sebuah kota kecil yang lapangan pekerjaannya tidak semudah di kota-kota besar sana. Pilihan saya tidaklah banyak. Karena orang tua belum mengijinkan saya untuk belajar merantau ke luar kota.
“oke mah! Ngahonor we nya!” akhirnya kalimat itu keluar dari pikiran saya.
Memutuskan untuk menjadi tenaga honorer atau tenaga guru sukarelawan juga tidak mudah. Ditolak beberapa sekolah, bahkan juga tidak ditanggapi oleh beberapa sekolah jadi makanan saya waktu itu. Beruntung, ada SDN 1 Kawali mau menampung saya untuk ikut belajar disana. Tidak disangka ternyata sekolah sekelas SDN 1 Kawali yang merupakan SD inti di kecamatan saya mau menerima seorang sarjana baru lulus yang belum punya pengalaman apapun.


Disinilah bahwasannya apa yang disebut perjuangan untuk menjadi seorang sarjana itu dimulai. Bukan seperti perjuangan semasa kuliah, untuk mendapat gelar. Tapi perjuangan untuk menjawab pertanyaan “apa sih yang dibanggainnya jadi sarjana?” yang selama ini jadi senjata ampuh orang-orang yang kurang paham tentang pendidikan untuk mencibir.
Menjadi tenaga honorer atau kerennya mah sukwan memanglah tidak mudah. Satu bulan pertama masuk, saya hanya duduk manis di ruang guru. Sesekali masuk ke kelas hanya saat ada guru yang tidak masuk sekolah karena ada kepentingan dinas atau kepentingan lain. Lagi-lagi keberuntungan yang membawa saya ke dalam zona yang lebih baik. Saya pun diberi kesempatan mengajar di kelas IV.
 



Dunia kerja memang sangat jauh berbeda dengan apa yang dipelajari semasa kuliah.

Mungkin istilah itu yang selalu saya ucapkan dimasa-masa awal saya memasuki dunia pekerjaan. Padahal sebenarnya sayanya saja yang semasa kuliah #gagalfokus sama materi perkuliahan. Jadinya, di dunia kerja saya merasa asing dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Entah berapa kali saya diselamatkan dengan kata “beruntung”. Karena lagi-lagi, beruntung saya bekerja dilingkungan yang etos kerjanya cukup tinggi. Mungkin karena merupakan sekolah inti yang selalu mendapat sorotan dari banyak pihak, jadinya guru-guru disini dituntut untuk melakukan pekerjaan sesempurna mungkin.
Dengan suasana kerja yang seperti itu, saya sungguh merasa kecil. Tidak bisa apa-apa, tidak tahu apa-apa. Hari pertama saya mengajar di kelas, Kepala Sekolah bahkan lalu lalang terus didepan kelas saya, mengawasi saya. Mungkin takut saya melakukan kesalahan. Arrrhhhhhhh. Perasaan saya waktu itu sungguh lebih degdegan dibandingkan saat ujian PLP semasa kuliah dulu.
Pengalaman saya -belajar- mengajar di SDN 1 Kawali selama 2 tahun 7 bulan telah membuka mata dan pikiran saya bahwa pertanyaan para haters yang selalu mencibir “buat apa sih menjadi sarjana?” itu banyak benarnya. Buat apa jadi sarjana jika menjadi honorer saja tidak bisa apa-apa, bagaimana bisa menjadi agent of change di masyarakat? Bagaimana bisa mengharapkan gaji yang banyak jika materi kuliah saja banyak lupanya?
Maka, saya selalu menepuk jidat saya sambil berkata “Kamana wae sih keur kuliah nu kieu wae teu apal!?” ketika ada permasalahan mengenai pembelajaran yang saya tidak bisa menyelesaikannya. Tengsin euy kalo udah gini teh. Berasa gagal kuliah selama empat tahun teh.
Tapi, Allah sungguh Maha Pengasih dan Penyayang. Sekalipun saya selalu merasa tidak bisa apa-apa, Allah memalui guru-guru disini selalu membimbing saya menemukan hal-hal baru. Mulai dari belajar menjadi wali kelas, belajar mempersiapkan perangkat pembelajaran dari A sampai Z, mengikuti pelatihan mengelola perpustakaan, pelatihan kurikulum, ikut nimbrung urusan administrasi sekolah, membantu mengelola aplikasi-aplikasi pendataan sekolah, membimbing loma, mempersiapkan kenaikan kelas samapai ikut serta dalam kegiatan dari LPMP saya diberi kesempatan seperti mereka guru-guru yang sudah jadi PNS. Beribu terima kasih saya ucapkan atas segala kesempatan yang diberikan ini.

Lalu, puaskah saya setelah bekerja menjadi seorang honorer? Tentu saja TIDAK!

Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas dengan segala pencapaian yang telah didapat. Begitu pula saya. Mendapatkan banyak pengalaman semasa menjadi honorer ini tidak lantas membuat saya puas begitu saja. Malahan, saya selalu merasa makin tidak bisa apa-apa. Misalnya saja, saat berkesempatan ikut membimbing anak-anak kelas VI untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Banyak soal yang membuat saya mengerutkan kening. “Ieu soal nanaonan sih?” “Naon deui soal jiga kieu?” atau “Duuuhhhh. Ieu eusi na naon deuih!?” adalah sejenis pertanyaan yang sering muncul dalam kepala saya waktu itu.
Mungkin ada benarnya juga pepatah yang mengatakan “semakin banyak belajar semakin bodohlah kita”. Semakin banyak mengetahui hal-hal baru, semakin merasa tidak bisa apa-apa. Semakin tidak puaslah kita. Semakin ingin saya banyak belajar. Lagi-lagi, beruntung saya diberi kesempatan ikut –belajar- mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar. Disini saya banyak mendapatkan ilmu baru yang lagi-lagi membuat saya semakin bodoh. Hahahahaha..

Lantas, puaskah saya? Lagi-lagi, TIDAK.

Banyak orang yang mencibir kepada seorang sukwan. Bahkan tak sedikit juga sukwan yang mengutuki nasib mereka. Pekerjaan menumpuk, tapi gaji tidak seberapa. Sungguh. Saya juga sempat berpikiran seperti itu. Merutuki nasib yang digaji hanya ratus ribu perbulan. Untungnya, seorang guru sukwan yang sudah lama mengabdi juga banyak menasehati, banyak mengajak untuk selalu bersyukur atas apa yang dimiliki dan didapat.
“Asal kitanya mau berusaha dan tidak mudah bosan, meskipun gaji hanya segitu insyaa allah kebutuhan mah pasti tercukupi” begitu nasihatnya yang selalu diingat sampai sekarang.

Tulisan ini sungguh tidak bermaksud untuk menyombongkan diri akan apa yang sudah diraih. Tapi, hanya ingin menjawab sebuah pernyataan dari seseorang yang mengatakan “Jangan terlalu berbangga jadi sarjana, idealis menjadi seorang honorer yang kerjanya diforsir, diperah dan tidak digaji selayaknya pekerjaan yang dilakukan. Bahkan banyak sarjana yang malah ngojek biar penghasilannya lebih baik. da kebutuhan mah tidak cukup dipenuhi sama gelar sarjana”

Menurut saya, pemikiran itu sangat picik! Secara langsung menyepelekan gelar sarjana (padahal dianya juga seorang sarjana) dan merendahkan tenaga sukwan. Jaman sekarang, gelar itu menjadi syarat utama untuk mendapatkan pekerjaan. Sekalipun pekerjaan itu hanya menjadi seorang sukwan. Dan menurut saya menjadi seorang sukwan bukanlah pekerjaan yang layak mendapat tambahan ‘hanya’ didepannya.
Menurut saya, menjadi sukwan adalah pengabdian sesungguhnya. Mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan gaji, adalah sebuah pengorbanan. Kenapa kita para sukwan terkadang mendapat porsi pekerjaan yang lebih banyak dari yang sudah PNS adalah karena para sukwan ini mendapat kepercayaan, bahwa mereka memiliki kemampuan yang lebih untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Masalah gaji yang tidak sesuai dengan pekerjaan, saya sangat yakin bahwa rezeki setiap orang tidak akan tertukar karena Allah Maha Adil dan Maha Melihat. Bahkan gaji sukwan yang sesungguhnya adalah sajuta (singkatan dari sabar, jujur dan tawakal). Yakinlah, Allah sangat menghargai sajuta yang disertai dengan ikhlas daripada sajuta uang yang didapat dengan keserakahan. Tidak pernah kan ada berita yang mengabarkan seorang guru honorer meninggal karena kelaparan?
            Menjadi sukwan, membuat saya menjadi lebih kaya. Menambah pengetahuan, menambah teman dan kenalan, menambah saudara, dan menambah anak-anak yang mencintai. Bahkan sampai saya berpindah tugas, semua pengalaman yang saya peroleh saat menjadi sukwanlah yang banyak membantu saya disini. Maka, bagi siapapun yang mencibir pekerjaan seorang tenaga sukwan, saya sangat berharap Anda memikirkan kembali kata-kata Anda. Dan buat para sukwan dimanapun berada, keep Fighting, smile, dan Lillah… 

Inti dari tulisan ini adalah kita harus senantiasa bersyukur akan segala sesuatu yang sudah kita miliki dan sudah kita capai. Mohon jangan pernah menyepelekan apapun yang dimiliki oleh orang lain. Bisa jadi apa yang kita sepelekan dari orang lain justru merupakan apa yang sangat dia harapkan dan dambakan. Hargai juga apa yang dimiliki orang lain. Keep respect. 

Noona Neomu Yepposeo

“Oppa……..”
Lagi-lagi suara cempreng itu terdengar persis saat pintu masuk berderit terbuka.
“Sudah kubilang jangan panggil aku Oppa, anak kecil!” seruku sambil meletakkan buku yang tengah kubaca.
“Mau pesan apa?”tanyaku sebelum suara cemprengnya terdengar lagi..
“Spaghetti bolognise dan jus mangga.” jawabnya dengan enteng
“Ordered!” kataku sambil berlalu menuju dapur.
“Gomoyo oppa!” terdengar suara cempreng itu meneriakkan kata-kata yang tidak aku mengerti.
Dasar anak aneh. Namanya Nurul. Kelas XI SMA. Karena sekolah dan rumahnya berdekatan dengan toko tempatku bekerja, dia hampir setiap hari mampir ke toko ini. Sekedar membeli makanan dan berkumpul dengan teman-temanya, atau hanya memesan segelas jus alpukat sendirian sambil ditemani laptop putihnya, menonton drama korea katanya.
Akibat dia terlalu sering nonton drama korea itulah dia sering mengeluarkan kata-kata bahasa Korea yang tidak aku mengerti. Salah satunya yang menggangguku adalah dia kerap memanggilku ‘Oppa’. Heyy. Aku baru 25 tahun.
“Oppa itu artinya kakak laki-laki. Sama halnya seperti panggilan Abang, akang atau Aa.” Katanya ketika aku memprotes panggilannya.
“Tapi, tetap saja Nur. Itu membuat abang berasa dipanggil Kakek. Berasa udah tua!” bantahku.
“Ahhh.. Andri oppa kuper. Masa yang begitu saja tidak tahu. Gak gaul ahh!” katanya sambil memanyunkan bibir dan mengalihkan pandangannya pada laptopnya yang sedang dipenuhi adegan-adegan drama Korea, ngambek. Kalo sudah begini aku memilih meninggalkannya.
Dan kali ini, ketika aku hendak mengantarkan pesanannya, dia tampak tengah menangis sambil memandangi laptop putihnya. Ahh lagi-lagi menangis karena menonton film. Dasar perempuan!
“sudah nangisnya. Makan dulu!!”Kataku sambil meletakkan sepiring spaghetti dan jus alpukat pesanannya.
“Oppa….” Katanya tepat saat aku hendak melangkahkan kakiku meninggalkannya.
“sudah kubilang jangan panggil aku OPPA.” Kataku sambil berbalik ke arahnya.
“Tokomu sedang sepi kan? Bisakah oppa menemaniku duduk disini? Aku sedang butuh teman, oppa.” Katanya sambil menunduk.
“kenapa kau datang sendirian kalau kau sedang butuh teman? Kemana teman-temanmu yang selalu bikin rusuh tokoku?” kataku cuek. Namun, jujur dalam hati aku merasakan ha yang ganjil dari Nurul. Karena seringnya dia datang ke tokoku, sedikit-sedikit aku mulai mengenalnya. Menganggap dia adikku sendiri.
“Bukan teman-teman seperti mereka. Mereka hanya teman bercanda. Aku sedang ingin berbicara serius. Mungkin dengan oppa bisa” katanya, dan manik mata kami bertemu. Kalo sudah begitu, aku tak akan bisa menolak apapun permintaannya.
Kuseret kursi yang dekat dengan kakiku. Kutempatkan tepat diseberang mejanya.
“Oke ceritakan apa yang ingin kau ceritakan. Dengan syarat jangan panggil Oppa selama kau bercerita!” ancamku, galak.
“Tapi opp….” Belum selesai dia berkata aku memotongnya dengan isyarat tangan hendak pergi.
“Okeeee abang!” katanya sambil memelas. Nampaknya dia memang sedang sangat butuh teman bercerita.
“Apakah kau pernah jatuh cinta bang?” tanyanya.
Aku mengerutkan dahiku. Cinta? Kenapa anak ini tiba-tiba berbicara tentang cinta?


 ------ TO BE CONTINUED --------