Selepas kuliah, target
untuk bekerja menjadi hal nomor satu untuk direalisasikan dalam agenda saya.
Menjadi sarjana pendidikan alias S. Pd. setelah menempuh perjalanan studi yang
rasanya manis-asam-asin ibarat like a
dream comes true. Alhamdulillah wa syukurillah.
1 Oktober 2013, the
dream comes true. Wisuda bersama ratusan teman-teman seperjuangan. Rasanya
plooooooong begitu menerima ijazah dan melihat nama sendiri di belakangnya
sudah tersemat sebuah gelar : SRI MULYANI, S. Pd. begitu katanya. Rasanya semua
beban yang menumpuk semasa perkuliahan bbubaaaaaaarrrrr jalan!!! Satu kata yang
tercetak dalam hati dan pikiran saat itu : BAHAGIA!
|
|||
Padahal nyatanya
sodara-sodaraaaahh… perjuangan yang sebenarnya baru dimulai. Mau dibawa kemana
nih gelar S. Pd.-nya yang dibangga-banggakan itu? Nah lho!!!Mencari pekerjaan
di zaman sekarang memang tidak mudah lho. Apalagi saya yang notabene tinggal di
sebuah kota kecil yang lapangan pekerjaannya tidak semudah di kota-kota besar
sana. Pilihan saya tidaklah banyak. Karena orang tua belum mengijinkan saya
untuk belajar merantau ke luar kota.
“oke mah! Ngahonor we
nya!” akhirnya kalimat itu keluar dari pikiran saya.
Memutuskan untuk
menjadi tenaga honorer atau tenaga guru sukarelawan juga tidak mudah. Ditolak
beberapa sekolah, bahkan juga tidak ditanggapi oleh beberapa sekolah jadi
makanan saya waktu itu. Beruntung, ada SDN 1 Kawali mau menampung saya untuk
ikut belajar disana. Tidak disangka ternyata sekolah sekelas SDN 1 Kawali yang
merupakan SD inti di kecamatan saya mau menerima seorang sarjana baru lulus
yang belum punya pengalaman apapun.
Disinilah bahwasannya
apa yang disebut perjuangan untuk menjadi seorang sarjana itu dimulai. Bukan
seperti perjuangan semasa kuliah, untuk mendapat gelar. Tapi perjuangan untuk
menjawab pertanyaan “apa sih yang dibanggainnya jadi sarjana?” yang selama ini
jadi senjata ampuh orang-orang yang kurang paham tentang pendidikan untuk
mencibir.
Menjadi tenaga honorer
atau kerennya mah sukwan memanglah
tidak mudah. Satu bulan pertama masuk, saya hanya duduk manis di ruang guru.
Sesekali masuk ke kelas hanya saat ada guru yang tidak masuk sekolah karena ada
kepentingan dinas atau kepentingan lain. Lagi-lagi keberuntungan yang membawa
saya ke dalam zona yang lebih baik. Saya pun diberi kesempatan mengajar di
kelas IV.
Dunia kerja memang
sangat jauh berbeda dengan apa yang dipelajari semasa kuliah.
Mungkin istilah itu
yang selalu saya ucapkan dimasa-masa awal saya memasuki dunia pekerjaan.
Padahal sebenarnya sayanya saja yang semasa kuliah #gagalfokus sama materi
perkuliahan. Jadinya, di dunia kerja saya merasa asing dengan kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan. Entah berapa kali saya diselamatkan dengan kata “beruntung”.
Karena lagi-lagi, beruntung saya bekerja dilingkungan yang etos kerjanya cukup
tinggi. Mungkin karena merupakan sekolah inti yang selalu mendapat sorotan dari
banyak pihak, jadinya guru-guru disini dituntut untuk melakukan pekerjaan
sesempurna mungkin.
Dengan suasana kerja
yang seperti itu, saya sungguh merasa kecil. Tidak bisa apa-apa, tidak tahu
apa-apa. Hari pertama saya mengajar di kelas, Kepala Sekolah bahkan lalu lalang
terus didepan kelas saya, mengawasi saya. Mungkin takut saya melakukan
kesalahan. Arrrhhhhhhh. Perasaan saya waktu itu sungguh lebih degdegan
dibandingkan saat ujian PLP semasa kuliah dulu.
Pengalaman saya
-belajar- mengajar di SDN 1 Kawali selama 2 tahun 7 bulan telah membuka mata
dan pikiran saya bahwa pertanyaan para haters
yang selalu mencibir “buat apa sih menjadi sarjana?” itu banyak benarnya.
Buat apa jadi sarjana jika menjadi honorer saja tidak bisa apa-apa, bagaimana
bisa menjadi agent of change di
masyarakat? Bagaimana bisa mengharapkan gaji yang banyak jika materi kuliah
saja banyak lupanya?
Maka, saya selalu
menepuk jidat saya sambil berkata “Kamana wae sih keur kuliah nu kieu wae teu
apal!?” ketika ada permasalahan mengenai pembelajaran yang saya tidak bisa
menyelesaikannya. Tengsin euy kalo udah gini teh. Berasa gagal kuliah selama
empat tahun teh.
Tapi, Allah sungguh
Maha Pengasih dan Penyayang. Sekalipun saya selalu merasa tidak bisa apa-apa,
Allah memalui guru-guru disini selalu membimbing saya menemukan hal-hal baru.
Mulai dari belajar menjadi wali kelas, belajar mempersiapkan perangkat
pembelajaran dari A sampai Z, mengikuti pelatihan mengelola perpustakaan,
pelatihan kurikulum, ikut nimbrung urusan administrasi sekolah, membantu
mengelola aplikasi-aplikasi pendataan sekolah, membimbing loma, mempersiapkan
kenaikan kelas samapai ikut serta dalam kegiatan dari LPMP saya diberi
kesempatan seperti mereka guru-guru yang sudah jadi PNS. Beribu terima kasih
saya ucapkan atas segala kesempatan yang diberikan ini.
Lalu, puaskah saya
setelah bekerja menjadi seorang honorer? Tentu saja TIDAK!
Manusia adalah makhluk
yang tidak pernah puas dengan segala pencapaian yang telah didapat. Begitu pula
saya. Mendapatkan banyak pengalaman semasa menjadi honorer ini tidak lantas
membuat saya puas begitu saja. Malahan, saya selalu merasa makin tidak bisa
apa-apa. Misalnya saja, saat berkesempatan ikut membimbing anak-anak kelas VI
untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Banyak soal yang membuat saya mengerutkan
kening. “Ieu soal nanaonan sih?” “Naon deui soal jiga kieu?” atau “Duuuhhhh.
Ieu eusi na naon deuih!?” adalah sejenis pertanyaan yang sering muncul dalam
kepala saya waktu itu.
Mungkin ada benarnya
juga pepatah yang mengatakan “semakin banyak belajar semakin bodohlah kita”.
Semakin banyak mengetahui hal-hal baru, semakin merasa tidak bisa apa-apa.
Semakin tidak puaslah kita. Semakin ingin saya banyak belajar. Lagi-lagi,
beruntung saya diberi kesempatan ikut –belajar- mengajar di sebuah lembaga
bimbingan belajar. Disini saya banyak mendapatkan ilmu baru yang lagi-lagi
membuat saya semakin bodoh. Hahahahaha..
Lantas, puaskah saya?
Lagi-lagi, TIDAK.
Banyak orang yang
mencibir kepada seorang sukwan. Bahkan tak sedikit juga sukwan yang mengutuki
nasib mereka. Pekerjaan menumpuk, tapi gaji tidak seberapa. Sungguh. Saya juga
sempat berpikiran seperti itu. Merutuki nasib yang digaji hanya ratus ribu
perbulan. Untungnya, seorang guru sukwan yang sudah lama mengabdi juga banyak
menasehati, banyak mengajak untuk selalu bersyukur atas apa yang dimiliki dan
didapat.
“Asal kitanya mau
berusaha dan tidak mudah bosan, meskipun gaji hanya segitu insyaa allah
kebutuhan mah pasti tercukupi” begitu nasihatnya yang selalu diingat sampai
sekarang.
Tulisan ini sungguh
tidak bermaksud untuk menyombongkan diri akan apa yang sudah diraih. Tapi,
hanya ingin menjawab sebuah pernyataan dari seseorang yang mengatakan “Jangan
terlalu berbangga jadi sarjana, idealis menjadi seorang honorer yang kerjanya
diforsir, diperah dan tidak digaji selayaknya pekerjaan yang dilakukan. Bahkan
banyak sarjana yang malah ngojek biar penghasilannya lebih baik. da kebutuhan
mah tidak cukup dipenuhi sama gelar sarjana”
Menurut saya, pemikiran
itu sangat picik! Secara langsung menyepelekan gelar sarjana (padahal dianya
juga seorang sarjana) dan merendahkan tenaga sukwan. Jaman sekarang, gelar itu
menjadi syarat utama untuk mendapatkan pekerjaan. Sekalipun pekerjaan itu hanya
menjadi seorang sukwan. Dan menurut saya menjadi seorang sukwan bukanlah
pekerjaan yang layak mendapat tambahan ‘hanya’ didepannya.
Menurut saya, menjadi
sukwan adalah pengabdian sesungguhnya. Mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai
dengan gaji, adalah sebuah pengorbanan. Kenapa kita para sukwan terkadang
mendapat porsi pekerjaan yang lebih banyak dari yang sudah PNS adalah karena
para sukwan ini mendapat kepercayaan, bahwa mereka memiliki kemampuan yang
lebih untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Masalah gaji yang tidak
sesuai dengan pekerjaan, saya sangat yakin bahwa rezeki setiap orang tidak akan
tertukar karena Allah Maha Adil dan Maha Melihat. Bahkan gaji sukwan yang
sesungguhnya adalah sajuta (singkatan dari sabar, jujur dan tawakal). Yakinlah,
Allah sangat menghargai sajuta yang disertai dengan ikhlas daripada sajuta uang
yang didapat dengan keserakahan. Tidak pernah kan ada berita yang mengabarkan seorang
guru honorer meninggal karena kelaparan?
Menjadi
sukwan, membuat saya menjadi lebih kaya. Menambah pengetahuan, menambah teman
dan kenalan, menambah saudara, dan menambah anak-anak yang mencintai. Bahkan
sampai saya berpindah tugas, semua pengalaman yang saya peroleh saat menjadi
sukwanlah yang banyak membantu saya disini. Maka, bagi siapapun yang mencibir
pekerjaan seorang tenaga sukwan, saya sangat berharap Anda memikirkan kembali
kata-kata Anda. Dan buat para sukwan dimanapun berada, keep Fighting, smile,
dan Lillah…
Inti dari tulisan ini
adalah kita harus senantiasa bersyukur akan segala sesuatu yang sudah kita
miliki dan sudah kita capai. Mohon jangan pernah menyepelekan apapun yang
dimiliki oleh orang lain. Bisa jadi apa yang kita sepelekan dari orang lain
justru merupakan apa yang sangat dia harapkan dan dambakan. Hargai juga apa
yang dimiliki orang lain. Keep respect.