Namaku Dewi.
Tidak. Bukan. Aku bukan Dewi Sartika.
Aku seorang guru. Tapi jangan pernah sekalipun melihat aku seperti seorang guru.Yang setiap pagi berangkat ke sekolah dengan menjinjing tas berisi buku dan materi pelajaran.
Mengajar murid-murid dengan kasih sayang.
Berbagi ilmu.
Sungguh, aku bukan Dewi Sartika .
Ketika Dewi Sartika memperjuangkan pendidikan untuk kaum perempuan.
Aku justru menjadi awal kerusakan pendidikan.
Setiap pagi aku berangkat ke sekolah, menjinjing tas mahal bermerk yang sangat sayang jika diisi dengan buku pelajaran yang berat.
daripada bersusah payah menyiapkan materi pelajaran, aku lebih suka menyiapkan berkas-berkas untuk kemajuan karierku.
mengajar tidak lebih penting dari arisan atau hang out bersama teman-temanku.
Sungguh, aku bukan Dewi Sartika.
Yang dengan susah payah mendirikan Sekolah Istri agar para perempuan Jawa Barat bisa belajar dan menjadi pintar.
dalam hatiku, justru aku selalu ingin segera meninggalkan sekolah. Kembali ke rumah dan duniaku sendiri.
Aku seorang guru.
Tapi aku bukanlah seorang guru.
Aku Dewi. Tapi aku bukan Dewi Sartika.
Mungkin kalian tidak tahu rupaku.
Tapi, perhatikanlah. Aku ada di sekitar kalian.
****
Namaku Dewi.
Tidak. Bukan. Aku bukan Dewi Sartika, seorang perempuan yang berasal dari kalangan Priyayi Sunda yang berjuang mendirikan pendidikan bagi kaum perempuan.
Aku hanyalah seseorang yang berasal dari tempat terpencil. Dan aku berjuang untuk mendapatkan pendidikan, bukan memperjuangkan pendidikan.
Aku seorang guru.
Walaupun banyak kalangan yang tidak menganggap aku seorang guru.
Mengajar adalah tugasku.
Mendidik adalah kewajibanku.
Berbagi ilmu dan tersenyum bersama murid-murid adalah kebahagiaan bagiku.
Bukan gaji besar atau menjinjing tas mahal yang menjadi prestasi bagiku.
Tapi, ketika murid-muridku mampu berbangga atas keberhasilannya, itulah prestasi terbaikku.
Tapi, sungguh aku bukan Dewi Sartika.
Yang bahkan rela melawan arus zaman pada saat itu demi memperjuangkan pendidikan untuk perempuan dari kalangan bawah.
Aku bahkan tidak mampu memperjuangkan kemerdekaan ideku sendiri.
Segalanya dibatasi birokrasi.
Segalanya dibatasi cibiran dan gunjingan dari rekan sejawat.
Aku Dewi. Tapi, aku bukan Dewi Sartika.
Aku hanyalah seorang guru yang ingin menjadi guru.
Kalian mungkin tidak pernah tahu rupaku.
Tapi, cobalah tanya pada jiwamu.
Adakah jiwaku disana?
Margacinta, Sehari menjelang HUT PGRI 2015
Teruntuk Rd. Dewi Sartika, terima kasih atas semua ilmu yang telah dipejuangkan agar sampai kepada kami kaum perempuan Jawa Barat. Semoga jiwa pendidikmu hadir dalam jiwa kami, orang-orang yang tengah belajar menjadi pendidik. Allahumagfirlaha......
Tidak. Bukan. Aku bukan Dewi Sartika.
Aku seorang guru. Tapi jangan pernah sekalipun melihat aku seperti seorang guru.Yang setiap pagi berangkat ke sekolah dengan menjinjing tas berisi buku dan materi pelajaran.
Mengajar murid-murid dengan kasih sayang.
Berbagi ilmu.
Sungguh, aku bukan Dewi Sartika .
Ketika Dewi Sartika memperjuangkan pendidikan untuk kaum perempuan.
Aku justru menjadi awal kerusakan pendidikan.
Setiap pagi aku berangkat ke sekolah, menjinjing tas mahal bermerk yang sangat sayang jika diisi dengan buku pelajaran yang berat.
daripada bersusah payah menyiapkan materi pelajaran, aku lebih suka menyiapkan berkas-berkas untuk kemajuan karierku.
mengajar tidak lebih penting dari arisan atau hang out bersama teman-temanku.
Sungguh, aku bukan Dewi Sartika.
Yang dengan susah payah mendirikan Sekolah Istri agar para perempuan Jawa Barat bisa belajar dan menjadi pintar.
dalam hatiku, justru aku selalu ingin segera meninggalkan sekolah. Kembali ke rumah dan duniaku sendiri.
Aku seorang guru.
Tapi aku bukanlah seorang guru.
Aku Dewi. Tapi aku bukan Dewi Sartika.
Mungkin kalian tidak tahu rupaku.
Tapi, perhatikanlah. Aku ada di sekitar kalian.
****
Namaku Dewi.
Tidak. Bukan. Aku bukan Dewi Sartika, seorang perempuan yang berasal dari kalangan Priyayi Sunda yang berjuang mendirikan pendidikan bagi kaum perempuan.
Aku hanyalah seseorang yang berasal dari tempat terpencil. Dan aku berjuang untuk mendapatkan pendidikan, bukan memperjuangkan pendidikan.
Aku seorang guru.
Walaupun banyak kalangan yang tidak menganggap aku seorang guru.
Mengajar adalah tugasku.
Mendidik adalah kewajibanku.
Berbagi ilmu dan tersenyum bersama murid-murid adalah kebahagiaan bagiku.
Bukan gaji besar atau menjinjing tas mahal yang menjadi prestasi bagiku.
Tapi, ketika murid-muridku mampu berbangga atas keberhasilannya, itulah prestasi terbaikku.
Tapi, sungguh aku bukan Dewi Sartika.
Yang bahkan rela melawan arus zaman pada saat itu demi memperjuangkan pendidikan untuk perempuan dari kalangan bawah.
Aku bahkan tidak mampu memperjuangkan kemerdekaan ideku sendiri.
Segalanya dibatasi birokrasi.
Segalanya dibatasi cibiran dan gunjingan dari rekan sejawat.
Aku Dewi. Tapi, aku bukan Dewi Sartika.
Aku hanyalah seorang guru yang ingin menjadi guru.
Kalian mungkin tidak pernah tahu rupaku.
Tapi, cobalah tanya pada jiwamu.
Adakah jiwaku disana?
Margacinta, Sehari menjelang HUT PGRI 2015
Teruntuk Rd. Dewi Sartika, terima kasih atas semua ilmu yang telah dipejuangkan agar sampai kepada kami kaum perempuan Jawa Barat. Semoga jiwa pendidikmu hadir dalam jiwa kami, orang-orang yang tengah belajar menjadi pendidik. Allahumagfirlaha......
0 komentar:
Posting Komentar