Selasa, 15 November 2011

Cerpen: Untuk Senin Pagi, Untuk Merah Putih-ku


Senin pagi, matahari bersinar dengan hangatnya. Burung-burung berkicau riang menyambut hangat pagi ini. Namun, tidak demikian dengan Dinda. Gadis berkuncir dua itu selalu saja enggan menyambut hari Senin.
“Selalu harus cepat-cepat segalanya!” katanya dengan wajah cemberut.
“Dinda sayang. Ayo cepat ganti bajunya. Nanti telat upacara.” panggil Bunda.
“Tuh kan? Selalu harus cepat-cepat!” gerutu Dinda.
“Dinda sayang. Ayo cepat sarapan!” panggil Bunda lagi.
“Iya Bunda” jawab Dinda seraya menuju  meja makan.
Sesampainya di meja makan, terlihat ayah, bunda dan kak Raka telah siap sarapan. Melihat Dinda telah bergabung untuk sarapan, ayah memimpin doa sebelum makan. Kemudian mereka pun sarapan bersama. Sarapan pagi sangatlah penting agar kita bisa menjalani aktivitas dengan baik sepanjang hari.
Dinda makan dengan bermalas-malasan. Ketika ayah, bunda, dan kak Raka sudah selesai makan, Dinda masih menyisakan banyak makanan di piringnya.
“Dinda, cepetan dong makannya. Telat nanti!” kak Raka menegur Dinda.
“Iya sayang. Ayo dihabiskan makanannya” kata Ayah.
Dinda lagi-lagi kesal karena harus cepat-cepat.
“Bentaran dulu dong! Nanti keselek kalo cepet-cepet makannya.” Dinda membela diri.
“Ini kan hari senin, sayang. Nanti telat lho.”kata Bunda mengingatkan.
“Kenapa sih setiap hari Senin itu harus buru-buru?” Dinda semakin cemberut.
“Kan upacara Dinda. Cepat makannya! Kakak telat nih bisa-bisa” kak Raka sedikit menggertak Dinda.
“Kenapa juga mesti upacara? Padahal kan cuma pegel-pegelan berdiri, hormat ke bendera, terus dengerin Pembina ngobrol di depan. Panas lagi!”gerutu Dinda sambil mengunyah suapan nasi gorengnya yang terakhir.
“Ya daripada dihukum sama guru? Hayo pilih mana. Udah cepetan makannya!” kak Raka semakin kesal pada Dinda.
“Udah. Nanti di mobil ayah jelaskan kenapa hari Senin harus pagi-pagi dan kenapa harus upacara. Ayo sekarang kita berangkat.” Kata ayah seraya mengajak putra-putrinya menuju aktivitas mereka.
Setelah berpamitan dengan Bunda yang berangkat belakangan, ayah, kak Raka, dan Dinda pun berangkat.
“Dadah Bunda. Assalamualaikum.” teriak Dinda dari balik kaca jendela mobil.
“Waalaikumsalam warohmatulloh. Hati-hati. Belajar yang rajin ya!” jawab bunda.
Belum 5 meter keluar dari garasi rumah, Dinda kembali berceloteh.
“Ayo katanya ayah mau menjelaskan yang tadi!” kata Dinda.
“Menjelaskan apa, Sayang?” ayah pura-pura lupa akan janjinya.
“Ih ayah yah! Pikun! Itu yang tadi pas sarapan.” kata Dinda dengan wajah cemberut.
Ayah hanya tersenyum melihat tingkah putrinya yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak itu.
“Apa coba yang pas sarapan itu?” ayah malah semakin senang menggoda Dinda.
“Ih ayah… Itu yang tadi. Yang upacara itu.” kata Dinda dengan gemas.
“Oh yang itu. Kakak dan Dinda mau mendengarkan cerita ayah?”tanya ayah sebelum memulai menjelaskan.
“Mau!” serempak kak Raka dan Dinda menjawab pertanyaan Ayah.
“Oke. Sambil bercerita ayah maumenyetel lagu yah?”kata ayah seraya menyalakan MP3 Player. Dan terdengarlah alunan lagu “Berkibalah Benderaku” ciptaan Ibu Sud.
“Ah Ayah. Masa lagu yang begini! ST12 aja Yah.” protes kak Raka begitu mendengar lagu yang diputar ayah.
Ayah geleng-geleng kepala mendengar protes dari kak Raka dan seraya bergumam dalam hati “anakku mulai beranjak remaja”. Kemudian ayah menjawab:
“Kita kan mau bercerita tentang upacara. Jadi lagunya ini dulu, ST12-nya nanti lagi yah, kakak?”
Kak Raka hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kemudian ayah memulai ceritanya tentang upacara.
“Tadi, Dinda bertanya yah “kenapa kalau hari Senin itu segalanya harus cepat-cepat?”, “kenapa hari Senin harus upacara”” kata ayah seraya menirukan suara Dinda.
Dinda dan kak Raka hanya tersenyum mendengar dan memperhatikan ayah yang menirukan Dinda yang masih kecil.
“Nah, ayah jawab satu-satu yah. Sebenarnya, bukan  hari Senin saja kita harus cepat-cepat, cepat-cepat bangun pagi,cepat-cepat mandi, shalat subuh  harus setiap hari, cepat-cepat sarapan juga harus setiap hari, bukan hari Senin saja, bukan juga karena upacara. Tapi, karena kita harus disiplin, tepat waktu. Coba kalau Dinda atau kak Raka bangunnya tidak cepat-cepat, pasti bakalan telat sahalat Subuh, telat sarapan, telat masuk sekolah, dan nanti dihukum sama ibu atau bapak guru. Iya gak?” kata  ayah.
Dinda dan kak Raka hanya mnegangguk-anggukkan kepala mereka tanda setuju dan menunggu penjelasan selanjutnya dari ayah tersayang.
“Jadi, bukan hanya hari Senin saja yah kalian harus cepat-cepat bangun,  sarapan dan berangkat sekolah. Tapi setiap hari. Oke?” Tanya Ayah yang dijawab dengan kata “oke” serempak dari mereka.
“Terus, yang kedua, “kenapa yah hari Senin itu harus upacara?” lanjut Ayah.
“Tadi kata kakak biar gak dihukum ibu guru.” celetuk Dinda menjawab pertanyaan Ayahnya.
“Hehe. Iya benar. Salah satunya upacara supaya tidak dimarahi ibu guru. Tapi, sebenarnya bukan itu.” kata ayah lagi.
“Terus kenapa ayah?” tanya kak Raka yang penasaran jawabannya masih salah.
“Upacara itu untuk menghargai jasa pahlawan. Udah belajar kan tentang para pahlawan, ada Cut Nyak Dien, Pattimura, Otto Iskandardinata, masih inget gak?”
“Iya yah masih inget. Yang sampai meninggal berperang memerdekakan Indonesia yah?” kata Raka yang duduk di kelas 5.
“Iya betul. Nah, perjuangan mereka itu salah satunya untuk mengibarkan bendera merah putih yang menjadi tanda Negara kita. Susah lho perjuangannya. Dulu kalo membawa bendera merah putih dan ketauan Belanda bisa dibunuh. Maka, sekarang setelah merdeka, bendera itu selalu dikibarknan setiap hari Senin dalam upacara bendera,  atau saat uapacara-upacara lain. Agar kita selalu ingat pada para pahlawan yang telah membuat bangsa kita merdeka dan bebas dari penjajah yang kejam. Dan saat upacara juga kan ada yang namanya mengheningkan cipta, nah saat mengheningkan cipta iu, kita mendoakan para pahlawan agar menjadi syuhada-syuhada dan mendapat surga Allah. Bagaimana?” Ayah mengakhiri cerita panjang lebarnya dengan menatap kedua buah hatinya yang serius menanggapi ceritanya.
Kedua buah hatinya terlihat terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Jadi, upacara itu bukan karena takut pada ibu bapak guru yah, tapi untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bagi kita dan mendoakan merka. Oke?”kata Ayah menarik kesimpulan dari penjelasannya.
“Oke ayah” jawab mereka serempak.
“Dinda gak boleh telat upacara ya, Yah? Supaya Dinda bisa mendoakan para pahlawan.” kata Dinda.
“Iya. Kakak juga gak boleh main-main saat upacara. Susah payah benderanya bisa dikibarkan, masa kakak main-main. Apa kata dunia?” kata kak Raka sambil meniru gaya iklan.
“Hehehe. Anak ayah pinter-pinter semuanya! Dan jangan lupa juga, kakak dan dinda harus rajin belajar supaya penter, supaya bangsa kita tidak dijajah lagi. Dan benderanya tetap bisa berkibar dengan gagah. Oke?” kata ayah mengakhiri diskusi kecil mereka pagi itu Karena gerbang sekolah keduanya telah terlihat.

Berkibarlah benderaku
Lambang suci gagah perwira
Di seluruh pantai Indonesia
Kau tetap pujaan bangsa 
 
Siapa berani menurunkan engkau
Serentak rakyatmu membela
Sang merah putih yang perwira
Berkibarlah Slama-lamanya


                                                                                              In my room, November 14th 2011
09.58 pm

3 komentar:

d.a.paramita mengatakan...

brrrr.... euceu... merambah dunia cerpen sekarang mah ^^

tar ya review nya...belum dibaca semuanya...

Titian Senja mengatakan...

Heheheee. Coba-coba mak. Mengenang zaman eSeMA mak. Sok sok sok. Diantos. :)
Nu'un nya makkkk tos dibaca. :)

Titian Senja mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

 
;