Kamis, 01 Maret 2012

Pengalaman Belajar Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas bangsa Indonesia dan menjadi alat pemersatu bangsa. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menjadi salah satu objek yang harus dilestarikan dan dijaga oleh bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dalam pendidikan, yaitu menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu objek dalam kegiatan belajar mengajar. Tepatnya menjadi sebuah mata pelajaran, yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia. Istimewannya, setiap jenjang pendidikan formal di Indonesia seperti TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi membelajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia ini. Sehingga, semua pelajar pasti pernah belajar Bahasa Indonesia.
Begitu pula halnya dengan seorang anak bangsa yang bernama Sri Mulyani. Sejak mengenal bangku sekolah yang dimulai sejak TK atau Taman Kanak-kanak sudah mengenal pula apa yang namanya Bahasa Indonesia melalui mambaca dan menulis. Baginya yang dalam kesehariannya lebih sering menggunakan bahasa ibu alias bahasa daerahnya yaitu bahasa Sunda, sangat menarik bisa belajar bahasa Indonesia. Terutama membaca. Ya, dia sangat senang belajar membaca. Terbukti dengan dia sangat cepat fasih membaca dibanding dengan teman-teman sekelasnya. Namun, dia sangat tidak suka menulis, sulit sekali baginya. Tulisan tangannya selalu tidak lebih baik dari teman-temannya.
Kesenangannya membaca selalu ia perlihatkan dimana saja. Bahkan saat melakukan perjalanan ke luar kota dengan kendaraan umum. Celotehannya membacakan spanduk-spanduk, baliho, papan nama, bahakan papan penunjuk jalan selalu mengiri perjalanannya. Ibunya bahkan pernah menegur anak bungsunya itu, “Cerewet sekali anak ini.” Namun, mendapat komentar begitupun tak menyurutkan kebiasaan membaca sepanjang perjalanan.
Menginjak usia Sekolah Dasar, pelajaran Bahasa Indonesia yang ia terima semakin bertambah. Tidak hanya membaca dan menulis satu atau dua kata. Tetapi juga mulai membaca cerita pendek, menulis kalimat, cerita, deklamasi puisi, bahkan mendongeng. Namun baginya, tetap saja membaca adalah bagian dari plajaran yang sangat meyenangkan. Menulis masih menjadi ‘musuh besar’ baginya. Nilai menulisnya selalu saja tidak lebih dari 7,5. Dan tulisan-tulisannya selau dihiasi komentar “Tingkatkan kerapihan” dari gurunya. Betapa mneyebalkan baginya. Apalagi saat melihat teman sebangkunya memiliki tulisan yang rapid an bagus.
Menginjak kelas tinggi, kecintaannya terhadap membaca semakin menjadi. Apalagi di kelasnya mulai ada perpustakaan. Setiap hari ada saja buku yang dia bawa pulag untuk dibaca. Dan ia mulai termotivasi untuk menulis. Walaupun tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas tulisan tangannya, ia mulai suka menulis cerita, puisi, dan diari.
Saat kelas VI, kelasnya kedatangan seorang murid baru, perempuan. Dan anak itu sangat pandai berdeklamasi puisi. Sri mulai senang mendengarkan deklamasi puisi. Selalu terkagum-kagum ia saat temannya mendeklamasikan puisi. Sri mulai senang mendengarkan deklamasi puisi. Namun, sama sekali dia tidak berminat untuk bisa membca puisi. Rasa malu dan rasa tidak percaya diri membuatnya selalu enggan tampil ke depan kelas dan berdeklamasi.
Memasuki usia SMP, ia kembali bertemu dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Namun kali ini dengan wajah yang berbeda. Jika di SD dulu belajar Bahasa Indonesia oleh guru kelasnya, sekarang oleh guru bidang studi, yang tentunya mereka memiliki spesifikasi tersendiri di bidang mata pelajaran Bahas Indonesia. Di SMP, Sri banyak bertemu dengan guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang membuatnya semain menyukai pelajaran tersebut.  Betul ternyata apa kata orang-orang bahwa yang pertama disukai adalah gurunya, baru mata pelajarannya.
Di usia SMP, Sri masih tetap mencintai membaca. Dia selalu menjadi langganan perpustakaan. Karena kebetulan kelasnya saat kelas VII ekat dengan ruang perpustakaan. Namun, kecintaannya terhadap menulispun semakin meningkat. Hal ini berawal dari saat ia kelas VIII.
Ketertarikan terhadap lawan jenis merupakan hal yang wajar terjadi di usia pubertas atau masa remaja. Begitu pula dengan yang dialami oleh si bungsu yang satu ini. Dia menyukai seorang kakak kelasnya, dan begitu pula sebaliknya, sang kakak kelaspun menyukainya. Namun, karena mereka masih sama-sama malu, komunikasi yang terjalin adalah melalui surat. Sri selalu rajin menulis surat untuk sang kakak kelas. Dalam suratnya, ia selalu menceritakan banyak hal. Awalnya ia sangat malu karena jeleknya tulisan tangannya. Bahkan sang kakak kelas lebih bagus tulisannya. Namun, sang kakak kelas malah memuji dan sangat menyukai isi dari surat-suratnya. Alhasil itu menjadi motivasi tersendiri baginya. Iapun semakin suka menulis dan ia selalu berusaha meningkatkan kualitas tampilan tulisan tangannya.
Hal ini berlanjut. Tidak hanya rajin menulis surat untuk sang kakak kelas, tetapi iapun mulai suka menulis cerpen, puisi, bahkan artikel pendek. Satu momen yang selalu menjadi motivasi baginya adalah ketika ia membuat tulisam bertema ibu, kemudian tanpa sengaja tulisan itu dibaca oleh guru Bahasa Indonesianya yang bernama ibu Eti Rochayati atau yang biasa disapa ibu Eet. Gurunya sampai terharu dan berkata:
“Bagus. Ayo lebih rajin lagi menulis. Semakin banyak menulis, semakin banyak pula kemampuan menulismu”.
Dari sanalah titik balik kecintaannya terhadap menulis. Diari-diari semakin banyak yang dia isi, cerpen-cerpennya pun semakin banyak. Dan dia mulai beranai menunjukkan karya-karyanya pada teman-temannya. Ada sebuah cerpen yang menjadi “Best Reading” dan banyak dibaca oleh teman-temannya. Namun, cerpen itu menghilang entah kemana. Selain cerpen, iapun mulai suka menulis naskah drama musikal dan dipentaskan dalam acara perpisahan dalam acara pameran di sekolahnya. Naskah drama pertamanya itu berjudul “IJOLUMUT”.
Selain menulis, iapun mulai berani berbicara di depan kelas. Awalnya hanya mambacakan synopsis buku, lama-lama meningkat menjadi membaca dongeng, menjelaskan prosedur pembuatan suatu barang, hingga berpidato. Bahkan ia diberikan keprcayaan untuk menjadi perwakilan teman-temannya berpidato saat acara perpisahan. Kemampuan dan kemauannya berbicara di depn umum ini selain dilatih oleh guru Bahasa Indonesianya, juaga ia dapat dari pengalamannya berorganisasi di OSIS, Pramuka dan Paskibra di sekolahnya.
Baginya, belajar Bahasa Indonesia di SMP sangnatlah menyenangkan. Terutama saat kelas IX. Guru bahasa Indonesianya, ibu Eti Rochayati adalah sosok guru yang sangat lembut, baik dan kreatif. Belajar Bahasa Indonesia itu jadi tidak melulu membaca teks, menjawab pertanyaan, merangkum, membuat synopsis, membuat puisi, tetapi juga mengajarkan untuk berani tampil, berlomba menjadi kreatif dan yang terpenting adalah motivasi untuk belajar Bahasa Indonesia dengan baik. Beliau membuat pelajaran Bahasa Indonesia yang tadinya menyebalkan bagi Sri menjadi mata pelajaran yang sangat dia nantikan dan rindukan. Itu pula yang menjadi salah satu motivasi Sri untuk menjadi seorang guru seperti guru Bahasa Indonesia-nya itu.
Memasuki SMA, Sri masih tetap dengan kecintaannya pada membaca dan menulis. Ia tetap menjadi langganan perpustakaan dan tetap menulis. Di SMA pula beberapa naskah dramanya dipentaskan. Salah satunya yang berjudul “Kabayan vs Cinderella”. Selain itu, di SMA dia mulai mengenal dunia baru dalam bahasa dan sastra Indonesia, yaitu dunia jurnalistik. Bermula saat Sri dan dua orang temannya dari pengurus OSIS diamanahi untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. Dari sanalah ia mulai sering mencoba mennulis artikel, berita dan sebagainya.
Oh iya. Ada satu pengalaman yang tidak bisa Sri lupakan mengenai menulis saat SMA. Ia pernah mengikuti lomba menulis artikel antar kelas di SMA-nya. Dan pada saat pelaksanaan lomba ia malah ditegur oleh juri yang merupakan guru Bahasa Indonesia-nya. Alasannya adalah karena apa yang ia tulis bukanlah merupakan artikel melainkan esai. Alhasil ia didiskualifikasi.
Semasa SMA, kenangan belajar Bahasa Indonesia terburuk adalah saat melihat nilai ujian nasional. Bahasa Indonesia mendapat nilai yang sangat rendah. Tidak lebih dari angka 8. Dan hampir semua teman satu angkatannya pun demikian. Hal ini sangat mengecewakan bagi Sri, teman-temannya, dan juga guru-gurunya. Mereka sudah berusaha dengan maksimal. Namun, ternyata tetap saja manusia yang berusaha, tapi Tuhan yang berhak menentukan hasilnya.
Belajarnya Sri tentang Bahasa Indonesia tidak berhenti sampai SMA. Tapi saat ia masuk perguruan tinggi pun ia masih bertemu dengan pelajaran bahasa Indonesia. Walaupun kini dengan nama yang berbeda, bukan mata pelajaran lagi, tapi mata kuliah. Dan jika dulu  saat TK, SD, SMP, dan SMA Sri bealajar Bahasa Indonesia hanya untuk dirinya sendiri, tapi karena Sri kenetulan kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia dan mengambil konsentrasi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, maka ia belajar Bahasa Indonesia selain untuk menambah pengetahuannya, tapi juga untuk menambah pengetahuan siswa-siswanya kelak. Ya. Artinya ia belajar untuk mengajarkan.
Harapannya, semoga dengan semua pengalaman-pengalaman sri sebagai pemelajar Bahasa Indonesia sewaktu sekolah dulu, bisa ia integrasikan dengan teori-teori yang ia dapat dari bangku kuliah. Sehingga ia menjadi guru yang bisa menjalankan tugasnya dengan baik sekaligus bisa mnjaga dan melestarikan Bahasa Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;